Jenis permainan tradisional
tersebut kini mulai dimainkan juga oleh anak anak zaman now. Namun yang menarik, permainan yang biasanya dimainkan dengan
bermandi keringat, kini dimainkan dengan kelincahan jari jemari pemainnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Bukankah permainan memiliki nilai-nilai
filosofis yang bermakna dalam? Lalu apakah teknologi menghilangkan kebermaknaan
sebuah permainan? Jika demikian, bagaimana sikap kita terhadap pendayagunaan
teknologi untuk merdeka bermain?
Untuk menjawab puluhan bahkan ratusan pertanyaan tentang itu, rasanya menarik jika kita mulai menggali lebih dalam asal muasal munculnya sebuah permainan. Kihajar Dewantara dalam buku “tentang Frobel dan Metodenya” menyebutkan bahwa permainan adalah kegiatan yang menimbulkan kegembiraan, memberikan kebebasan anak berfantasi, berimajinasi agar kreativitas anak terangsang. Selain itu, permainan hendaknya mengarah pada nilai-nilai kebersamaan, kedisiplinan, ketertiban, serta sportivitas (Nugrahani, 2012).
Permainan-permainan tradisional yang ada di Indonesia mencakup nilai-nilai yang termuat dalam penjelasan Kihajar Dewantara. Seperti halnya permainan engklek. Menurut Dharmamulya, engklek merupakan permainan melompati bidang datar yang telah digambar di atas tanah dan dilempar dengan gacu. Di tanah sunda, engklek dikenal dengan istilah sunda manda yang dipercayai berasal dari Bahasa Belanda Zondag Mandag, artinya meloncati garis dengan satu kaki.
Permainan lain yang juga sering dimainkan dan mampu melatih kemampuan anak berhitung adalah congklak. Menurut Munawaroh, permainan congklak merupakan permainan tradisional yang berhubungan dengan berhitung dan memakai benda sebagai media bermainnya dan memiliki aturan yang telah disepakati (Munawaroh, 2018). Istilah lain yang dikenal untuk permainan ini adalah main dakon.
Bermain menurut Ridgway dalam konteks anak usia dini memiliki poin-poin yang harus dipahami yaitu bahwa anak usia dini memiliki kecerdasan, mereka memiliki keragaman pandangan dan cara dalam mengekspresikan pandangan itu. Selain itu, bermain harus mempertimbangkan beragam lingkungan, keyakinan terkait budaya, serta efek dan pengaruhnya pada pembelajaran dan perkembangan anak. (Ridgway, 2015)
Kini, mari kita kembali ke zaman dimana kita ada di usia dini. Saat itu, kita tak terpikir tentang hal-hal sulit bin rumit, yang ada dalam benak kita adalah bermain, mengoptimalkan imajinasi kita untuk membuat hati senang bersama sahabat atau teman teman kita. Dan ternyata, dibalik kepolosan dan ketulusan kita bermain dengan sekumpulan sahabat, ada pembelajaran yang terinternalisasi dalam diri. Kejujuran, keberanian, membuat strategi, mengakui kekalahan, menjaga emosi saat meraih kemenangan, toleransi, dan tentunya nilai nilai lain yang ternyata menjadi budaya dalam negara yang kita cintai. Awalnya apa? Hanya dari sebuah permainan.
Dalam beberapa literatur, kita akan menemukan istilah-istilah seperti eduplay, purposeful play, intentional teaching yang kesemuanya bertujuan untuk perkembangan anak dengan cara menerapkan bermain dan belajar secara bersama-sama dalam satu kegiatan. Dengan ini, tanpa terasa anak akan ditanamkan berbagai nilai dan pengetahuan tanpa harus mendikte mereka dengan pemahaman dan hafalan teori semata.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah menuangkan pedoman penerapan kurikulum dalam rangka pemulihan pembelajaran dalam Kepmendikbudristek No. 56/M/2022. Intisari kegiatan pembelajaran intrakurikuler adalah bermain bermakna sebagai perwujudan “Merdeka Belajar, Merdeka Bermain”. Kegiatan yang dipilih harus memberikan pengalaman yang menyenangkan dan bermakna bagi anak. Kegiatan perlu didukung oleh penggunaan sumber-sumber belajar yang nyata dan ada di lingkungan sekitar anak. Sumber belajar yang tidak tersedia secara nyata dapat dihadirkan dengan dukungan teknologi dan buku bacaan anak.
Dalam praktik bermain seru yang diajarkan oleh narasumber kegiatan webinar selasa seru Merdeka Bermain melalui Conceptual Playworld, kita bisa melihat bagaimana sintaks sebuah permainan dilakukan dan adanya intervensi pedagogi yang muncul. Dan hal ini menjawab pertanyaan-pertanyaan kita pada paragraf awal, bahwa sebenarnya ada hubungan atau keterikatan antara imajinasi anak saat bermain dengan imajinasi mereka tentang konsep-konsep yang mendukung kegiatan bermain mereka.
Istilah Conceptual Playworld mungkin asing bagi Guru PAUD Dikmas. Namun sejatinya, kegiatan main dengan Conceptual Playworld sudah dilakukan oleh sebagian guru yang mampu mengayomi siswa PAUD dengan kegiatan main yang bermakna. Kegiatan main yang kreatif dan memiliki nilai estetika antara orang dewasa dan anak. Beberapa karakteristik yang harus ada dalam konsep ini adalah adanya cerita dan kegembiraan yang akan dibangun, ada ruang bermain yang diciptakan dengan kreatif, ada proses main bersama antara guru dan anak, adanya kebersamaan dalam menyelesaikan masalah dalam permainan secara bersama-sama, dan adanya peran yang dipilih oleh guru atau orang tua saat bermain.
Kembali pada pertanyaan tentang
mengapa serunya permainan tradisional mulai bergeser pada game-game mabar (main bareng) yang harus memiliki kelincahan jari
dengan stik atau gawai yang digunakan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebenarnya, permainan zaman now tidak
hanya membutuhkan kelincahan jari, di dalam permainan itu ada kecerdasan dan
kecepatan berpikir yang harus dimiliki para pemainnya.
Cut Mutia Malahayati dalam studinya tentang manfaat aktivitasi bermain game online dalam mendukung prestasi belajar siswa kelas XII SMAN 1 Malingping Banten metemukan hasil yang menyatakan bahwa manfaat aktivitas bermain game online yaitu memperluas bahasa Inggris, memperbanyak teman, serta menghilangkan rasa bosan atau jenuh. Lalu untuk falsafah nilai dalam permainan anak zaman now masih bisa digali, nilai-nilai persahabatan, kejujuran dan kebersamaan masih tetap ada seperti penelitian oleh Cut Mutia.
Tertarik untuk bermain dengan conceptual playworld? Mari kita bersama menguak makna dengan bermain dan berbahagia bersama dengan conceptual playworld.
● Cut Mutia Malahayati.
Studi tentang Manfaat Aktivitas Bermain Game Online dalam Mendukung Prestasi
Belajar Siswa Kelas XII SMAN 1 Malingping Banten. (https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/31809)
● Munawaroh, H.
(2018). Pengembangan Model
Pembelajaran Dengan Modifikasi Permainan Congklak Sebagai Sarana Stimulasi
Perkembangan Anak Usia
Dini Di Ra Perwanida Wonosobo. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat UNSIQ (https://doi.org/10.32699/ppkm.v5i3.477)
● Nugrahani, F. (2012).
Dolanan jawa dalam rangka pembentukan
karakter bangsa (kajian semiotik). Kajian
Linguistik Dan Sastra.
●Siti Nur Hayati.
Reaktualisasi Permainan Tradisional untuk Pengembangan Kreativitas Anak. (http://jurnal.upmk.ac.id/index.php/pelitapaud/article/view/1344/681)
●
Slide PPT Merdeka
Bermain melalui Conceptual Playworld
Oleh: M. Shalehuddin Al-Ayubi,
S.I.Kom., M.Hum.
Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli
Muda