GuruPAUDDikmas, Jakarta – Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa tujuan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, negara memiliki kewajiban penuh untuk mengupayakan cerdasnya masyarakat Indonesia. Segala upaya harus dilakukan pemerintah dan masyarakat Indonesia guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat memanfaatkan segala sumber daya agar dapat digunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 atau diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 merupakan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang kali pertama disahkan dan digunakan oleh pemerintah Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan sebenarnya tidak langsung lahir begitu saja, pendidikan Indonesia banyak mengalami proses yang cukup panjang untuk mencapai pendidikan khas Indonesia sendiri.
Pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah bertujuan untuk, pertama, memberikan pengetahuan dan keterampilan, termasuk kemampuan membaca, menulis, dan berhitung kepada orang-orang dewasa yang buta huruf yang tidak berkesempatan bersekolah. Kedua, membantu orang-orang dewasa yang sudah bekerja agar lebih produktif di dalam usaha-usahanya. Lalu ketiga, memperkecil jurang antara kemajuan di daerah perkotaan dengan kemajuan di daerah pedesaan.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 adalah bentuk revisi dari undang-undang sebelumnya yang proses pembangunan pendidikan mengusahakan pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi mutunya dan mampu mandiri, serta pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh dan. mengandung makna terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham, dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
UU No.2/1989 memberikan arah terwujudnya satu sistem pendidikan nasional, dengan salah satu penegasan bahwa sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. “Semesta” diartikan terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. “Menyeluruh” berarti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, sedangkan “terpadu” berarti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. Dengan demikian, di dalam UU ditetapkan segala bentuk satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan beserta peraturan pelaksanaannya, termasuk tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan dari semua jenis dan jenjang pendidikan.
UU No.2/1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia lebih tertata dan komprehensif. Tujuan tersebut, yaitu “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, sistem pendidikan kita dibagi ke dalam 3 sub sistem, yaitu sub sistem pendidikan formal, sub sistem pendidikan non-formal (PNF), dan sub sistem pendidikan informal. Ketiga sub sistem ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pendidikan formal tidak akan berjalan mulus dan efektif bila faktor pendukungnya tidak dioptimalkan keberadaannya. PNF merupakan pelengkap, pendukung dan pengganti pendidikan formal, sehingga tidak ada celah dari upaya kita dalam mencerdaskan anak bangsa.
Demikian pula dengan pendidikan informal, sama strategis perannya dalam mendukung sub sistem pendidikan formal dan PNF. Perlu diingat bahwa waktu anak lebih banyak di rumah dibandingkan di sekolah, sehingga peran keluarga sangat mewarnai pencapaian hasil pendidikan yang dilakukan.
Kondisi pendidikan di Indonesia dilihat dari tingkat pencapaian atau keberhasilan pendidikan, dengan melihat angka rata-rata lama sekolah (ARLS) yang menjadi bagian dari pengukuran indek pembangunan manusia (IPM). Saat ini IPM kita berada pada urutan ke-130 dari 199 negara dengan nilai 74,39. Sungguh capaian yang belum memuaskan setelah kita merdeka selama 79 tahun. Adapun ukuran keberhasilan pendidikan pada usia sekolah dapat diukur dengan angka partisipasi kasar (APK), terdiri dari APK PAUD, APK SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, dan SMA/MA/SMK/sederajat.
Selain itu, juga bisa ukur angka partisipasi murni (APM) per kelompok usia sekolah. Di Indonesia dilakukan pengukuran untuk APM usia 3-6 tahun, APM usia 7-12 tahun, APM usia 13-15 tahun, dan APM usia 16-18 tahun.
Berdasarkan data BPS APK nasional pada jenjang pendidikan anak usia dini mengalami penurunan pada tahun 2021 yang mencapai nilai 35.59, sedangkan pada tahun 2020 mencapai nilai 37,52. APK pada jenjang SD/MI/sederajat mengalami penurunan meskipun tidak secara signifikan, yaitu pada tahun 2021 nilai APK mencapai 106,2 dan pada tahun 2020 mencapai 106,32. APK pada jenjang SMP/Mts/sederajat mengalami peningkatan pada tahun 2021 dengan nilai APK sebesar 92,8, sedangkan pada tahun 2020 adalah 92,06. APK nasional pada jenjang SM/SMK/MA dan sederajat pada tahun 2021 mengalami kenaikan secara signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai nilai 85,23, sedangkan pada tahun sebelumnya tahun 2020 mencapai nilai 84,53.
Dari data-data pada uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa tantangan pendidikan Indonesia masih besar, merentang dari yang belum terlayani, putus sekolah, putus lanjut, dan tidak memilih mengikuti PAUD, SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, dan SMA/MA/SMK/sederajat dengan berbagai alasan, serta mereka yang tidak memiliki kecakapan hidup dan masih cukup tingginya angka buta aksara yang masih pada kisaran angka sekitar 1.78% atau 3.06 juta orang. Oleh karena itu, kehadiran program PNF dan informal beserta tenaga pendidik masyarakat masih sangat diperlukan.
Berdasarkan kondisi tersebut, perlu pembenahan terkait kontribusi ketenagaan PNF, khususnya terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia, serta pembenahan layanan PNF yang menjadi kewenangan dan standar pelayanan minimal kabupaten/kota.
Untuk pembenahan pembinaan ketenagaan PNF, perlu dilakukannya reformasi dan transformasi dalam perencanaan kebutuhan jabatan fungsional, sehingga pemerintah daerah kabupaten/kota dapat dengan mudah mengangkat atau memindahkan jabatan fungsional lain ke dalam jabatan fungsional pamong belajar dan penilik sebagai pendidik dan tenaga kependidikan PNF. Di samping itu, untuk para tenaga honorer yang bertugas pada satuan pendidikan non-formal, agar dapat diperhatikan peningkatan kompetensi, kesejahteraan, dan harlindungnya. Sehingga, layanan PNF dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat agar mereka dapat hidup sejahtera.
Tidak lupa juga dengan pembinaan kelembagaan PNF, seperti sanggar kegiatan belajar (SKB) yang berkedudukan di kabupaten/kota sebagai satuan pendidikan non-formal (SPNF), yang kondisinya hidup segan mati tak mau. Kurangnya anggaran operasional dan program kegiatan menjadikan SKB sebagai lembaga PNF yang tidak lagi menarik dan diminati masyarakat. (Adjang Surahman, praktisi pendidikan)