GuruPAUDDikmas, Samarinda – Percepatan penurunan stunting merupakan program prioritas Presiden RI yang menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14%, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 terkait Percepatan Penurunan Stunting yang berakhir pada akhir 2024.
“Penurunan stunting bukan saja dilihat dari sisi pendidikan, tetapi kementerian/lembaga lain memiliki tugas yang cukup berat dalam melaksanakan program percepatan penurunan stunting,” ujar Direktur Guru PAUD dan Dikmas, Santi Ambarrukmi, dalam “Bimtek Strategi Pelatihan Guru PAUD Desa Tahun 2024” di Samarinda, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu.
Menurut Santi, sasaran penting dalam intervensi untuk percepatan penurunan stunting adalah melakukan pencegahan pada Ibu hamil dan anak usia 0 hingga 2 tahun melalui pemberian gizi yang baik. Sedangkan pada sektor pendidikan, perlu dihadiri oleh para pendidik yang mampu mengawal dan terlatih, di antaranya melalui materi pengasuhan. “Sampai saat ini, dibantu oleh Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) dan Balai Guru Penggerak (BGP) sudah hampir menyelesaikan target output pertama Perpres, yaitu tersedianya 20 orang pelatih di masing-masing kabupaten/kota” jelasnya.
Berdasarkan hasil survei angka prevalensi stunting dari tahun ke tahun mengalami penurunan pada tahun 2023. Prevalensi stunting berada pada 24,4% lalu di tahun 2022 turun menjadi 21,6%. Terdapat 3 provinsi dengan penurunan stunting terbesar, di antaranya Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Sedangkan 5 provinsi yang tidak mengalami penurunan stunting, di antaranya Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat, NTB, dan Sumatera Barat.
Santi pun menjelaskan, tantangan besar yang masih menjadi PR bersama, yaitu kualifikasi guru pendidikan anak usia dini (PAUD) yang belum memiliki pendidikan S1. Dari 460.204 guru, sebanyak 46% yang baru memiliki jenjang pendidikan S1, 49% yang belum S1, dan 5% yang tidak ada datanya. Dari 46% guru yang memiliki jenjang pendidikan S1, hanya 27% yang memiliki ijazah S1 PAUD. “Tentunya, tantangan kualifikasi ini menjadi pertimbangan besar dalam kebijakan ke depan yang akan menetapkan wajib belajar 13 tahun, dan ini akan menjadi informasi ke Bappenas bahwa kita masih banyak memiliki pendidik di bawah standar kualifikasi,” terangnya.
Adapun tantangan lainnya adalah bertambahnya guru PAUD yang tidak memiliki standar kualifikasi dan kompetensi, tidak bisa dihindari. Hal ini salah satunya disebabkan karena di beberapa daerah banyak bermunculan lembaga PAUD baru yang kurang memperhatikan standar. Dalam permasalahan ini perlu dipikirkan pengendalian yang tepat agar pertumbuhan PAUD yang baru mempunyai izin dan memiliki kualitas dan kompetensi pendidik yang sesuai dengan standar. Di sisi lain, satuan PAUD negeri hanya berjumlah 3% yang merupakan TK pembina, sedangkan sisanya PAUD swasta yang status gurunya bukanlah aparatur sipil negara (ASN).
Santi menambahkan, sepanjang 2020-2021 pelaksanaan bimtek calon pelatih percepatan penurunan stunting dilakukan secara daring selama 2 minggu karena adanya pandemik. Namun, akan direncanakan kepada peserta yang saat itu mengikuti daring untuk refresh materi secara luring, walaupun dilaksanakan hanya beberapa hari. Tercatat, dari tahun 2019 hingga saat ini, pelaksanaan bimtek calon pelatih percepatan penurunan stunting sudah terlatih sebanyak 10.399 guru dari 514 kabupaten/kota. Dengan menyisakan 318 guru yang belum terlatih, maka ke depannya perlu kolaborasi untuk mencari guru yang memenuhi syarat untuk mengikuti diklat.
“Target berikutnya dari Perpres adalah 90% atau sebanyak 59.756 desa yang memiliki PAUD dengan minimal 1 orang guru yang sudah dilatih, ini yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Maka dari itu, perlu ada sinergi dan koordinasi dengan kementerian/lembaga,” ujar Santi.
Seiring harapan tersebut, Deputi Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), Alimuddin, turut memberikan pencerahan bagaimana mengomunikasi kepada pemerintah daerah yang memungkinkan program percepatan penurunan stunting dapat terlaksana di masing-masing daerah, serta membangun komunikasi yang efektif bersama Bunda PAUD dengan menggunakan anggaran daerah.
Sementara itu Tuti Trihastuti Sukardi selaku Asisten Deputi Pembangunan Sumber Daya Manusia Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan menyebutkan, prevalensi stunting nasional tahun 2023 berdasarkan hasil SKI 2023 yang dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes adalah sebesar 21.5% atau mengalami penurunan sebesar 0.1% poin dari prevalensi tahun 2022. Artinya, prevalensi stunting menurun sebesar 9.3% poin selama 5 tahun atau 1,86% per tahun. Penurunan ini masih kurang dari target yang ditetapkan, yaitu sebesar 3,8% per tahun.
Oleh karea itu, “Perlu penurunan prevalensi stunting 7.5% poin pada tahun 2024 untuk mencapai target 2024, yaitu sebesar 14%. Hal ini memerlukan komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, serta melakukan intervensi spesifik dan sensitif dalam capaian percepatan penurunan stunting,” katanya.
Sedangkan Eppy Lugiarti dari Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal menyebutkan, strategi fasilitasi konvergensi percepatan penurunan stunting di desa pada setiap daerah dapat diawali dengan melakukan mobilisasi pendamping profesional untuk turut memfasilitasi pengembangan program stunting, memperkuat proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa, serta mengoptimalkan peran pelaku dan lembaga yang terlibat. Selain itu, peran pemerintah desa dalam penyelenggaraan pendidikan tentang pengasuhan melalui PAUD milik desa serta peningkatan kapasitas guru PAUD dalam bentuk pelatihan sebaiknya diikuti beberapa desa dalam satu kecamatan atau kabupaten. Hal ini dikarenakan tidak mungkin desa melakukan secara mandiri, dan pembiayaan dapat dilakukan dengan cost sharing desa dan kabupaten.
“Pengalokasian dana desa untuk kegiatan percepatan penurunan stunting di desa terkait penyelenggaraan PAUD dan pelatihan guru PAUD memerlukan pendampingan agar pengalokasian yang dilaksanakan tidak tumpang tindih dan dapat bersinergi dengan program-program sektor yang masuk ke desa. Sasaran pelatihan tidak hanya guru PAUD, tetapi juga kader posyandu aktif yang mempunyai layanan Bina Keluarga Balita atau kelas balita berupa layanan dasar PAUD yang terintegrasi dalam posyandu juga merupakan lembaga kemasyarakatan desa (LKD),” ungkap Eppy.(Agung Budiatmoko)