WhatsApp: +62 821-1555-5456

Kala ‘Merdeka Belajar’ Mengiringi Passion

Melalui kesempatan menentukan sendiri apa yang ingin dihasilkan, para peserta didik betul-betul merasakan kemerdekaan belajar yang sesungguhnya.

5 Juli 2023 11 Juli 2023
Gurupauddikmas, Bantul – Pagi nan cerah, 9 Mei 2023. “Kelas 1 masuk, kelas 1 masuk, kelas 1 masuk”. Beberapa anak memanggil rekan-rekannya dengan suara yang cukup keras. Yang memanggil adalah mereka yang berada di dalam kelas dengan ruang terbuka layaknya gazebo. Yang dipanggil ada yang sedang bermain bola, ada yang berlari-lari di lapangan, bahkan ada yang tengah bermain di sawah. Janganlah dibayangkan kejadian tersebut berlangsung di sebuah sekolah pada umumnya, yang identik dengan anak yang berseragam sekolah beserta ruang kelas nyaman ber-AC lengkap dengan segala fasilitas pembelajaran. Ya, ini adalah sebuah sekolah alam bertitel Sanggar Anak Alam (Salam) yang terletak di tengah-tengah hamparan sawah di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Keberadaan sekolah di daerah tersebut bukanlah tanpa alasan, melainkan keprihatinan sang pendiri Sri Wahyaningsih di kampung seniman tersebut. Bermula dari kepindahannya bersama keluarga ke Nitiprayan, sosok yang akrab disapa Bu Wahya ini dipercaya menjadi ketua RT setempat pada 1996. “Dari pertemuan dengan ibu-ibu, bapak-bapak maupun para pemuda, diketahui bahwa di daerah ini banyak masyarakat yang terjerat rentenir, menunggak SPP sekolah, hingga akhirnya saya membuat koperasi yang bekerja sama dengan bank,” ungkap Bu Wahya memulai kisah hadirnya Salam kala Direktur Guru PAUD dan Dikmas, Kemendikbudristek, Santi Ambarukmi, berkesempatan menyambangi sekolah tersebut. Bekal mumpuni mendirikan sekolah alam sebelumnya di Lawen, Banjarnegara, berdasarkan ragam persoalan masyarakat di sana, akhirnya membuat Bu Wahya kembali mendirikan sekolah alam di Nitiprayan pada 2000. Mulanya pendidikan di sekolah dimulai dengan menjalankan program perempuan gender berbasis keluarga dari sebuah lembaga kementerian. “Kami mendirikan PAUD pada 2004 dengan para pengajar sukarela, dilanjutkan dengan jenjang SD, SMP, SMA, serta PKBM tahun 2010,” jelasnya. Tak disangka, hadirnya sekolah ini nyatanya justru banyak mendapat perhatian dari luar negeri. Terbukti, tambah Bu Wahya, Salam mendapat kunjungan dari 40 negara. “Dari Jerman dan Jepang misalnya, tiap semester berkolaborasi di sini. Menari dan membuat makanan bersama, serta mengajar dan belajar bersama,” tuturnya. Bu Wahya menambahkan, melalui konsep PKBM, pihaknya memfasilitasi peserta didik sesuai dengan minat. “Setiap orang unik, jadi kami tidak menyeragamkan. Masing-masing harus berkolaborasi, anak-anak belajar dengan riset. Adapun pada PAUD berkolaborasi dengan orang tua karena mereka wajib berpartisipasi. Merekrut anak berarti merekrut orang tua baru,” ujarnya. Pada awal perencanaan pembelajaran, jelas Bu Wahya, diadakan workshop bersama orang tua sehingga lingkungan sekolah dan rumah bersinergi. “Setiap bulan anak-anak belajar di rumah secara bergilir, keluarga punya kewenangan ingin belajar apa, sharing masing-masing pengetahuan,” ungkapnya. Belajar via Pasar Yang menarik, Salam juga menyelenggarakan sebuah kegiatan layaknya pasar. “Ada bank, lurah pasar, kebersihan, keamanan, lalu ada penjual dan juga retribusi. Semua untuk belajar dengan penyesuaian tema, semisal pangan, kesehatan, dan lingkungan hidup,” terang Bu Wahya. Menggandeng komunitas, Salam juga menggelar pasar ekspresi yang melibatkan masyarakat sekaligus kampanye yang diadakan 3-4 bulan sekali. Untuk jenjang SMA, terdapat kegiatan senja ekspresi sebagai pengganti pasar yang memuat pementasan, menjual makanan lokal. “Pembelajaran ini tidak bisa dengan modul, misalnya belajar mengenai sampah bisa selama 1 semester. Kami membuat sekolah juga untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan,” ujar Bu Wahya. Alhasil, peserta didik jenjang SMP-SMA sudah memiliki penghasilan, semisal memiliki kedai kopi. Meski menyandang ‘sanggar’, terbukti jebolan SMA besutan Salam berhasil melanjutkan pendidikan jenjang pendidikan selanjutnya, misalnya UGM, Universitas Sanata Dharma, dan ISI Jogja. Bahkan, “Ada juga yang jadi kepala sekolah di Jombang, direktur LSM di Purwokerto,” terang Bu Wahya bangga. Lantas, bagaimana minat masyarakat terhadap sekolah ini? Ternyata, minat yang teramat besar membuat banyak masyarakat harus bersabar menyekolahkan anaknya di Salam dengan menunggu selama dua tahun! Pasalnya, setiap kelas di Salam hanya diisi oleh maksimal 15 peserta didik. Karenanya, “Kami mendorong juga untuk yang lain mendirikan seperti ini (Salam, red),” ungkap Bu Wahya. Bu Wahya pun menegaskan, pihaknya mempunyai indikator yang dilakukan pada semester akhir usai para peserta didik membuat resume risetnya. “Kami kelompokkan, ada pendampingan. Lalu mereka bisa ikut ujian. Adapun yang belum tercapai harus dipenuhi,” ujarnya. Namun demikian, Bu Wahya sendiri tidak mau menitikberatkan sekolah tersebut ke ‘alam’, tetapi lebih ke peserta didik. Di samping itu, tak hanya peserta didik biasa, sekolah ini juga menerima anak berkebutuhan khusus. “Inginnya disebut sanggar ketimbang sekolah,” ungkapnya. Bu Wahya pun merasa sangat senang bila anak didiknya dapat menemukan passion, entah ingin menjadi apa kelak. Di bidang wirausaha misalnya, “Mereka bisa langsung melakukan praktik, menerima pesanan, hingga mempunyai penghasilan,” tuturnya. Sebagai informasi, kini Salam memiliki 210 peserta didik dengan rasio 1:2 untuk perbandingan siswa dengan instruktur atau pengajarnya. Proses pembelajaran di Salam yang semuanya berbasis proyek tersebut dimulai pukul 8 pagi, lalu mendapatkan makan siang yang dikelola masing-masing kelas. Tak hanya dari Jogja, para instruktur juga berasal dari ragam daerah, semisal Malang, Bali, dan Sulawesi dengan biaya sendiri. “Kami juga pernah menerima bantuan dari Kedutaan Besar Australia, serta menerima dana BOS sejak pendidikan nonformal masuk ke Dapodik,” jelas Bu Wahya. Tak ada yang lebih diinginkan Bu Wahya, melainkan dirinya berharap setiap anak memiliki jati diri sesuai minat dan bakatnya. Di samping itu, “Tantangan kemajuan teknologi kini yang membutuhkan peran orang tua lebih besar,” pungkasnya. (Gurupauddikmas/AP)

Baca artikel lainnya:

Kembali ke Daftar Artikel