GuruPAUDDikmas – Di Era digital yang berkembang pesat saat ini, membekali anak-anak dengan keterampilan untuk menavigasi teknologi dan memecahkan masalah kompleks menjadi lebih penting dari sebelumnya. Keterampilan abad ke-21 yang diperlukan untuk masa depan anak yang awalnya dikenal dengan 4C, yaitu berpikir kreatif (creative thinking), berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving), berkomunikasi (communication), serta berkolaborasi (collaboration), kini bertambah dengan berpikir komputasional (computational thingking).
Kemampuan tersebut menjadi semakin penting sebagai respon terhadap kompleksitas dan kecepatan perubahan teknologi. Salah satu strategi yang efisien untuk membuat anak memperoleh keterampilan tersebut, yakni dengan mengintegrasikan kemampuan berpikir komputasional ke dalam kurikulum PAUD. Anak usia dini dapat mulai belajar konsep-konsep dasar berpikir komputasional melalui pendekatan menggunakan perangkat elektronik atau tanpa perangkat tersebut. Dengan melatih berpikir komputasional sejak dini, maka otak anak akan terbiasa berpikir logis, terstruktur, serta dapat memecahkan masalah dengan mengembangkan solusi yang tepat. Maka dari itu, penting bagi orang tua dan guru untuk mulai memperkenalkan konsep itu sejak usia dini.
Menurut Irma Yuliantina, kemampuan berpikir komputasional bukan merupakan kurikulum baru, tetapi kemampuan yang perlu dibangun pada anak sejak dini. “Melatih anak-anak usia dini dalam berpikir komputasional tidak hanya mempersiapkan mereka untuk teknologi masa depan, tetapi juga membantu mengembangkan keterampilan kognitif, logika, dan kreativitas,” ujar Irma selaku narasumber dalam kegiatan “Pengembangan Kompetensi Non-Gelar bagi Pendidik PAUD melalui Micro Credential Bidang Berpikir Komputasional Anak Usia Dini” yang diselenggarakan oleh Direktorat Guru PAUD dan Dikmas pada 8-14 September 2024 di Jakarta.
Irma menambahkan, saat ini berbagai negara telah mulai mengintegrasikan kemampuan berpikir komputasional dalam kurikulum pendidikan, termasuk pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD). “Di Indonesia, hal tersebut dapat diadaptasi melalui Kurikulum Merdeka yang memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21, termasuk berpikir komputasional,” ujarnya.
Apa Itu Berpikir Komputasional?
Sebenarnya, berpikir komputasional bukanlah sesuatu hal yang baru. Hal tersebut merupakan proses berpikir yang digunakan untuk memahami dan memecahkan masalah dengan cara yang logis, terstruktur, dan sistematis. Adapun komponen utama dalam berpikir komputasional mencakup:
1.Dekomposisi, yakni proses memecah masalah besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil agar lebih mudah untuk diselesaikan. Pendekatan pemecahan masalah ini dapat digunakan saat siswa merencanakan satu kegiatan, mengerjakan proyek kolaboratif, memecahkan masalah dalam matematika, atau saat memainkan drama.
2.Abstraksi, yakni menentukan karakteristik yang penting dari suatu masalah dengan membuang/mengabaikan detail-detail yang tidak relevan. Abstraksi memungkinkan kita untuk membuat gagasan umum tentang apa masalahnya dan bagaimana menyelesaikannya, serta menyederhanakan masalah agar lebih mudah dipahami dan dipecahkan.
3.Rekognisi Pola, yakni mencari atau mengenali kesamaan pola, baik dalam maupun antarmasalah yang ingin dipecahkan. Pengenalan pola dapat memandu siswa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang serupa dengan lebih cepat dan mudah.
4.Algoritma, yakni langkah demi langkah yang dilakukan dalam proses pemecahan masalah. Algoritma adalah hal umum dalam ilmu komputer dan kehidupan sehari-hari. Anak usia dini dapat belajar mengikuti urutan atau tahapan tertentu, misalnya mengaplikasikan resep masakan.
Irma juga menjelaskan bahwa saat seorang guru menyusun perencanaan pembelajaran, mengacu pada tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum masing-masing satuan PAUD. Kegiatan yang dirancang guru diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dan kemampuan berpikir komputasional secara bersamaan. “Kemampuan berpikir komputasional dapat disimulasi guru dengan berbagai kegiatan pembiasaan, contohnya kegiatan mencuci tangan dan menggosok gigi. Kegiatan tersebut membangun komponen algoritma, karena saat anak mencuci tangan dan menggosok gigi anak mengikuti urutan yang teratur,” tuturnya.
Contoh kegiatan lainnya adalah mengajak anak-anak membuat roti lapis. Anak-anak diajak untuk mengamati roti lapis, lalu mengidentifikasi bahan apa saja yang digunakan. Kemudian merencanakan roti lapis yang akan dibuat, dan terakhir anak-anak membuat roti lapisnya. Ketika anak-anak diminta memecahkan dalam bentuk bagian kecil, hal itu sudah termasuk ke dalam komponen dekomposisi.
Adapun komponen algoritmanya adalah pada saat anak mengikuti langkah-langkah dan mengurutkannya, sehingga dapat membuat susunan yang sesuai pada roti lapisnya. Anak-anak menyusun roti, selada, keju, saus tomat, tomat, timun, lalu ditutup dengan roti lagi. Hal itu sudah termasuk dalam komponen algoritma.
Lalu ketika anak-anak menyusun dan melakukannya secara berulang-ulang, maka mereka telah mengembangkan kemampuan rekognisi pola. Di akhir pembelajaran, anak-anak akan diminta menceritakan pengalamannya membuat roti lapis, yang akan melatih mereka membangun kemampuan komponen abstraksi. Anak distimulasi untuk memusatkan perhatiannya atau fokus saat menceritakan cara membuat roti lapis.
Dengan pendekatan yang tepat, berpikir komputasional tidak hanya mempersiapkan anak-anak untuk masa depan yang penuh dengan teknologi, tetapi juga membantu mereka mengembangkan keterampilan kognitif, logika, dan kreativitas. Peran guru sangat penting dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung pengembangan kemampuan tersebut. Melalui berbagai kegiatan sehari-hari yang disimulasikan dalam pembelajaran yang menyenangkan, anak-anak bisa secara alami mengasah kemampuan berpikir komputasional mereka. Pada akhirnya, anak akan lebih siap menghadapi tantangan zaman dengan keterampilan berpikir yang lebih baik.
“Dengan dukungan guru, kemampuan berpikir komputasional sangat fleksibel untuk dapat disimulasi dalam proses pembelajaran,” tambah Irma. (Rika Jayanti)