WhatsApp: +62 821-1555-5456

Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan PAUD

“Mendidik anak tidak melulu mengenai literasi maupun numerasi, namun ada hal yang sangat penting, yaitu bagaimana anak dapat menjaga dirinya.”

4 April 2024

GuruPAUDDikmas, Sulawesi Selatan – Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan wadah pembinaan sejak usia dini yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh maksudnya adalah layanan pendidikan, pengasuhan, kesehatan, gizi, dan perlindungan agar tumbuh kembang anak betul-betul diperhatikan. Sedangkan terpadu merupakan layanan yang diberikan kepada anak usia dini, serta keluarga dan masyarakat sebagai satu kesatuan layanan.

Anak usia dini merujuk kepada mereka yang berusia antara 0-8 tahun. Pada fase ini, anak sangat memerlukan dukungan orang tua maupun guru. Bantuan yang diberikan berupa rangsangan perkembangan dan perlindungan dari tindakan yang dapat membahayakan mereka. Mendidik anak usia dini tentu tidak melulu mengenai literasi maupun numerasi, namun ada hal yang sangat penting, yaitu bagaimana anak dapat menjaga dirinya.

Perlindungan anak di dalam UU No. 35 Tahun 2014 diartikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak harus menjadi bagian dari misi lembaga. Artinya, semua anak di satuan PAUD harus terlindung dari kekerasan fisik dan kekerasan nonfisik. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi karena kurangnya pendidikan seksual yang diberikan sejak dini. Hal ini membuat anak kurang waspada terhadap potensi bahaya dan risiko yang terkait dengan kekerasan seksual.

Sebelum abad ke-20, pendidikan seks dianggap tabu oleh masyarakat, yang hanya diberikan pada usia remaja akhir dan dewasa. Namun, meningkatnya kasus pelecehan seksual pada anak-anak membuat pendidikan seks pada anak usia dini merupakan kebutuhan yang mendesak. Misalnya, kasus pelecehan seksual seorang anak taman kanak-kanak (TK) di Pekanbaru. Pelecehan tersebut dilakukan oleh teman sebaya yang disinyalir telah menonton video porno melalui ponsel ayahnya. Fenomena ini seperti gunung es yang tampak kecil dari luar, namun faktanya tersembunyi besar di dalamnya. Tidak sedikit pelecehan seksual sendiri dilakukan oleh orang yang sudah dikenal korban, seperti petugas keamanan sekolah, guru, tetangga, bahkan keluarga sendiri. Fasilitas mudahnya teknologi internet untuk mengakses pornografi, membawa dampak yang sangat buruk pada korban pelecehan seksual, korban kejahatan seksual akan cenderung menjadi pelaku di kemudian hari (Chomaria, 2014).

Menurut Erlinda (2014), faktor penyebab pelecehan seksual pada anak, yaitu rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak anak, pendidikan karakter di rumah, kemiskinan atau rendahnya pengetahuan tentang pendidikan seks, penyebaran perilaku jahat antargenerasi, ketegangan sosial, serta lemahnya penegakan hukum. Pendidikan seks pada anak usia dini menekankan pemahaman kondisi tubuhnya, pemahaman lawan jenis, dan pemahaman menghindar dari kejahatan seksual. Anak mulai mengenal identitas diri dan keluarga, mengenal anggota tubuh, dan dapat menyebutkan beberapa anggota tubuh. Maka dari itu, peran orang tua sangat penting untuk mengedukasi guna mencegah tindakan-tindakan pelecehan seksual, agar anak dapat mengerti konsekuensi serta konsep menghargai serta menjaga keselamatan diri.

Pemberian pendidikan seks pada anak usia dini bukan berarti mengajarkan anak mengenai hubungan kelamin, tetapi memberikan arahan perilaku baik dari tahapan perkembangan seks yang dialami anak mengenai materi terkait fungsi-fungsi tubuhnya, cara merawat tubuhnya, bagian-bagian tubuh yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain, bagaimana ia bergaul sehat dalam lingkungan sosialnya, dan lain-lainnya yang berpedoman pada nilai-nilai dan norma terkait di suatu masyarakat tertentu.

Untuk itu, dengan metode pembelajaran “4 salah 4 benar” dapat dilakukan oleh orang tua di rumah dan guru di sekolah sebagai pendidik pertama anak. Dimulai dengan metode bercerita tentang 4 bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh dengan menggunakan boneka, gerak, dan lagu “Ku Jaga Diriku”, mengenalkan 4 benar dalam mengatasi pelecehan seksual (katakan tidak, bebaskan diri, lari, teriak, serta menceritakan kepada ayah, ibu, guru, dan keluarga ataupun orang di sekitar), serta memberikan pemahaman kepada anak akan adab dalam menutup aurat untuk menjaga diri dengan tidak memperlihatkan bagian tubuh pribadi saat anak ingin pergi ke toilet. Ini merupakan pembiasaan yang harus dilakukan setiap harinya, dan dapat dilakukan dengan kegiatan mencocokkan lambang bilangan yang menunjukkan simbol anggota tubuh yang tidak boleh disentuh/dilihat orang lain. **(Raodah Kusumawaty, KB Bukit Gojeng Permai Kabupaten Sinjai Sulsel)
**

Baca artikel lainnya:

Kembali ke Daftar Artikel