WhatsApp: +62 821-1555-5456

Pentingnya Fondasi Pendidikan di Usia Dini

Penanaman fondasi yang kuat dapat membuat anak mencintai belajar sepanjang hayatnya.

5 Juli 2023
Tangerang, Gurupauddikmas – Tidak sedikit orang tua yang menuntut anaknya selesai mengenyam pendidikan anak usia dini (PAUD) dapat membaca secara lancar ketika akan masuk sekolah dasar (SD). Kenyataan ini membuat sebagian besar guru PAUD galau. Pendapat tersebut disampaikan guru TK Islam Al-Amanah, Depok, Ika Ayu Pratiwi, saat webinar “Membangun Kemampuan Fondasi secara Bertahap dan Holistik dari PAUD hingga SD” yang diselenggarakan oleh Direktorat Guru PAUD dan Pendidikan Masyarakat, Kemendikbudristek, di Tangerang, Banten (4/5). Alhasil, “Biasanya mereka (para guru, red) mengikuti kemauan orang tua tanpa memikirkan proses belajar yang membuat anak bahagia,” ujarnya. Padahal, transisi PAUD menuju SD haruslah bersifat menyenangkan. Artinya, terdapat tahapan yang menjadi pedoman, yakni dimulai dengan mengenal nilai agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa untuk anak bersosialisasi, kematangan emosi untuk berkegiatan di lingkungan belajar, pengembangan keterampilan motorik dan keterampilan yang baik untuk bersosialisasi, pengetahuan literasi dan numerasi, serta pemaknaan belajar yang positif. “Kalau anak happy akan memperkuat proses belajarnya. Kalau kuat di fondasinya, maka anak akan cinta pada belajar sepanjang hayat,” ujar narasumber Lucia RM Royanto dari Fakultas Psikologi UI. Lucia menambahkan, pengembangan proses tersebut haruslah dilakukan secara bertahap. Ini dikarenakan setiap anak memiliki perbedaan. “Dengan adanya perbedaan, maka penahapan juga berbeda. Kita harus sadar untuk mengajarkan dari konten sederhana dahulu hingga sulit. Ketika penahapan benar, maka anak akan belajar dengan senang karena tidak merasa sulit,” terangnya. Lantas, bagaimana mengejar anak-anak yang memiliki keterlambatan dalam menyesuaikan penahapan tersebut? Menurut Lucia, pendidik harus menerima dan tidak mengharuskan adanya target tertentu sehingga anak tidak mengalami frustasi. “Anak memerlukan pendampingan personal yang disesuaikan dengan kemampuannya. Ketika sudah mengejar ketertinggalan, maka anak pun dapat berbaur kembali dengan yang lainnya,” ungkapnya. Senada dengan Lucia, Ika juga menekankan perlunya dilakukan penanaman budi pekerti. Misalnya dengan kegiatan membereskan makanan, guru ikut berperan di dalamnya. “Kita ambil dan bersama-sama dibersihkan,” ujarnya. Bahkan, Ika sendiri telah membuat sebuah buku bertitel Persahabatan Kinar yang memuat cerita setiap anak didiknya. “Pertama, harus mengenali profil peserta didik. Ketahui apa yang menjadi kesukaannya sehingga lebih mudah memahami karakternya. Dari profil anak inilah saya kembangkan menjadi cerita,” tuturnya. ‘Bermain’ Mendorong Eksplorasi Lantas, apakah kebiasaan bermain pada PAUD dapat diterapkan juga di SD? “Bisa sekali karena akan mendorong anak bereksplorasi dan membawa situasi di kelas menjadi menyenangkan,” ujar Lucia. Selain itu, kata Lucia, penataan ruang kelas juga harus menyenangkan dengan tetap membuat anak harus memperhatikan guru dan pelajarannya. “Profil anak PAUD pun juga bisa diberikan kepada guru SD,” tambahnya. Menanggapi sesi pertanyaan dari salah seorang peserta webinar, Nurhabibah, menyoal target fondasi, Lucia menjelaskan bahwa bila kita memahami setiap anak berbeda perkembangannya, maka targetnya berbeda. “Sehingga, paling tidak kita mengajarkan dasar-dasarnya. Kita juga bisa mengajak orang tua bekerja sama, sehingga apa yang diajarkan anak di sekolah ada kecocokan. Jadi, tidak ada batas waktu target karena kita harus memahami lebih kurangnya anak,” terangnya. Adapun Ika menambahkan, terdapat tiga poin fondasi yang menjadi perhatian dalam proses pendidikan anak, yakni mendengarkan keinginan anak, memberikan pilihan apa yang menjadi kesukaan anak, serta memberikan kesempatan anak bertanggung jawab terhadap pilihannya. Dirinya juga berharap guru maupun orang tua dapat membiasakan kepada anak agar mau bercerita. “Jadi, apa yang dilakukan anak di sekolah, mereka akan cerita ke orang tua. Komunikasi ini tidak harus selalu ada masalah terlebih dahulu. Ajak anak berdiskusi agar kita saling memahami,” tuturnya. (Gurupauddikmas/AP)

Baca artikel lainnya:

Kembali ke Daftar Artikel